Skip to main content

RW Persona de Ares Chapter 02 Le Chateau de Cannuis

Race Wish - Persona de Ares 
Chapter 02 Le Chateau de Cannuis


Kyoto, sehari kemudian.

Saat hari menjelang siang, seorang anak laki-laki terbangun dengan kesadarannya yang masih belum sempurna, terombang-ambing dalam pusaran ingatan yang berputar dan berdenyut-denyut memenuhi kepalanya, membuatnya hanya mengerjap menatap langit-langit ruangan sesaat sebelum akhirnya memejamkan kembali mata biru mudanya, menyerah pada pening yang serasa berat di belakang kepala. Perlahan rasa nyeri itu menggerayangi tubuhnya, menjalar cepat bagaikan sengatan listrik dan mulai menandai otot-ototnya yang pegal teraniaya di setiap persendian tulang lelahnya. Ia beringsut dari pembaringan dengan tubuh yang serasa remuk redam, mencoba untuk bangkit dan mengangkat kepala, meski letih masih terasa berat menggantung di punggungnya.

Gerombolan yakuza, hujan deras, Ferrari merah, dan seorang pria misterius, ingatan demi ingatan datang kembali silih berganti, berputar cepat seperti potongan roll film yang ditayangkan ulang di dalam kepalanya, semakin jelas dan mendesak kesadarannya kembali sepenuhnya ke alam nyata. Sementara tatapan bingung mata birunya terus merayap mencari pemandangan apapun yang dapat menjelaskan di manakah dirinya kini berada. Bocah itu mencoba mengenali setiap sudut tempat tersebut yang terasa asing baginya. Memandang sekeliling ruangan bernuansa merah dan keemasan itu yang tak lain adalah sebuah kamar tidur besar nan mewah dengan penerangan temaram cahaya redup lampu gantung yang menjangkau seluruh sudut dalam keremangan.

Jemarinya merayap di atas pembaringan, meraba alas lembut kain seprai berbahan katun sejuk dan juga selimut hangat yang membungkus dirinya di atas tempat tidur besar yang terasa sangat nyaman. Belum pernah ia tidur di tempat senyaman ini sebelumnya, namun semua kemewahan ini justru membuatnya berpikir dan semakin curiga, tempat apakah ini sebenarnya, dan bagaimana dirinya bisa sampai di tempat semewah ini? Apakah ia telah ditangkap kelompok yakuza lain atau mungkinkah ia diselamatkan oleh seseorang? Pikirnya dalam diam.

Tekad kuat memaksanya untuk segera bangkit, menuruni ranjang yang nyaman itu, perlahan ia menapaki lantai pualam halus yang dingin menggelitik telapak kakinya. Rasa penasaran sekaligus resah membayang di hatinya, mendorong keberaniannya untuk mencari tahu, dimanakah dirinya berada? Diam-diam didekatinya jendela-jendela besar yang menjulang tinggi di sisi ruangan dan diintipnya ke luar situasi dari balik gorden merah maroon bersulam nan mewah menjuntai menutupi bias-bias sinar matahari siang hari yang menerobos masuk melalui kaca-kaca jendela tersebut. Pemandangan luar biasa langsung menyambut matanya, memperlihatkan keindahan yang tiada terkira. Tempat apa gerangan rumah ini? Pikir anak itu dalam ketercengangannya saat menyibak selapis vitrage putih tembus pandang yang menghalangi pemandangan menakjubkan sebuah taman di luar sana.

Hamparan petak-petak mawar dan tulip berbeda warna, topiary dan pagar tanaman hijau yang dipangkas rapi bak labirin hidup, kolam jernih berair mancur penuh kilauan sinar mentari dan barisan pohon pohon peneduh nampak luar biasa indah mengisi sebuah taman pribadi bergaya khas Perancis yang nampak begitu asri dan terawat. Memukau dengan kemegahannya yang bahkan dilengkapi oleh patung-patung pualam malaikat rupawan yang seolah selalu berjaga di sana. Taman itu terbentang begitu luasnya merengkuh rumah besar yang juga tak kalah megah dengan keindahan arsitektural Rococo klasik, membuatnya laksana Chateau di atas bukit berpemandangan hijau pepohonan hutan yang mengelilinginya nun jauh di sana.

Keindahan itu bagai menawan mata hingga sulit baginya untuk tidak terpesona dan enggan mengalihkan pandangan dari sekelumit bagian menakjubkan rumah tersebut, namun kesadaran segera membawa anak laki-laki itu kembali mengendalikan dirinya untuk tidak terlena dan tetap fokus dalam kewaspadaan, karena bahaya bisa datang mengintai kapan dan dimana saja saat dirinya lengah. Perlahan dilangkahkannya kaki sesenyap mungkin menyeberangi kamar megah itu menuju ambang pintu sesaat setelah telinganya yakin betul tak terdengar suatu suara apa pun dari luar sana.

Belum genap langkahnya mencapai sepasang pintu besar berukiran naga emas, kakinya terhenti saat sebentuk bayangan di dalam cermin yang dilaluinya memberitahukan apa yang sejauh ini tidak ia sadari. Dirinya yang biasanya lusuh, kumal, dan kotor kini berdiri di dalam refleksi cermin besar dengan keadaan yang jauh lebih baik. Ia sendiri terkejut melihat tubuh kurusnya telah mengenakan piyama biru muda yang nampak masih baru, sementara wajahnya yang dikiranya kusam dan kumal oleh noda dan lumpur telah bersih memperlihatkan kulit yang putih pucat. Rupanya telah ada seseorang yang entah siapa pun dia, mengganti pakaian dan membersihkan tubuhnya sewaktu dirinya hilang kesadaran selama sehari penuh.

Dengan cepat pandangan matanya teralihkan pada sesuatu yang berada di dekat cermin tinggi tersebut. Seseorang juga telah menyiapkan beberapa potong pakaian anak-anak yang ditumpuk rapi di atas sebuah meja marmer berkaki kurus. Diputuskannya untuk tidak menyentuh pakaian-pakaian itu dulu dan langsung bergerak menuju ambang pintu berukiran naga yang telah menunggunya.

Sedikit demi sedikit secara perlahan daun pintu besar berwarna putih tulang itu ditariknya terbuka, secercah cahaya terang menyusup masuk melalui celah sempit yang terbentuk di antara kaki-kaki pintu. Dengan penuh waspada anak laki-laki itu mengintip situasi di baliknya yang ternyata adalah sebuah lorong kosong dengan banyak ruangan tertutup di kiri kanannya. Sejenak ia mengamati setiap sudut yang terlihat, menunggu gerakan sekecil apapun yang mungkin tiba-tiba terjadi, mencari apa dan siapa yang bisa datang dari mana saja, tetapi mata biru mudanya sama sekali tak menangkap keganjilan apapun di sana.

Senyap seakan ingin bersemayam selamanya di tengah keheningan, mengundang lengang yang menipu seolah tanpa bahaya, tetapi sunyi selalu menebar ketegangan di dalam ketidakpastian. Helaan tertahan mengawali langkah kakinya yang ditingkahi gemuruh teredam detak jantung di rongga dadanya, anak itu berjingkat dalam kehati-hatian keluar dari kamar dan memasuki lorong yang kosong di hadapannya. Tatapan mata polosnya gelisah menyisir pemandangan di sana, sembari mengumpulkan keberanian untuk membuatnya tetap tenang di tengah debaran menyiksa rasa ketakutannya. Peluh dingin menitik di pelipis wajahnya dan perlahan meluncur turun dari balik rambut seputih salju yang membingkai seraut pucat paras lugu itu. Tak ada siapapun di sana kecuali dirinya yang merasa asing dikelilingi kilauan menyilaukan yang memenuhi sepanjang lorong kosong itu. Dindingnya yang kokoh dan menjulang tinggi hanya berbalutkan wallpaper klasik berwarna emas dan merah tua, tak ada hiasan apapun terpasang di sana selain kemewahan itu sendiri yang tampak elegan dalam ketiadaan. Kiranya di sepanjang kiri dan kanan lorong itu ada selusin ruang tertutup berpintu serupa yang dihiasi penuh ukiran naga indah berjaga dengan gagahnya di setiap daun pintu gandanya. Di ujung dari lorong itu, nampak sepasang pintu keemasan yang terlihat sangat mewah dan berbeda dibandingkan dengan pintu-pintu lainnya yang hanya berlatarkan warna putih yang sederhana. Namun yang membuat dirinya takjub akan pemandangan di sana adalah penataan cahaya dari lampu-lampu kecil yang tertanam tinggi di atas langit-langit lorong yang melengkung indah, berbaris rapi seperti deretan bintang yang senantiasa menyorotkan sinarnya ke bawah dan cahayanya berkilau dengan sempurna, terpantulkan oleh segala warna keemasan yang ada di sana, membuat lorong itu bermandikan kilauan dalam terang yang sangat mewah.

Anak lelaki itu nyaris yakin tempat semegah dan semewah bagaikan istana ini pastilah bukan tempat sembarangan yang dimiliki oleh orang biasa, pengalamannya yang pernah ditawan selama berbulan-bulan oleh kelompok yakuza membuatnya berprasangka buruk, Ia hanya pernah sekali melihat kemewahan seperti ini di markas besar sindikat mafia internasional.

Gerak cepat terayun dari kaki si bocah yang menapaki karpet merah pelapis lantai lorong, beruntung permukaannya yang lembut dan tebal meredam langkah-langkah kaki telanjangnya saat menyusuri sepanjang dinding dalam kegelisahan. Kepekaan dan kewaspadaan dikerahkan sepenuhnya dalam melihat situasi di sana, dirinya langsung merapat dengan sigap ke celah dinding saat dilihatnya dari jauh dua orang pria berjas hitam mewah akan melintas di dekat tempatnya berada. Mereka nampak masih muda dan salah satu di antaranya sedang menyahut panggilan komunikasi radio dari earphone yang dikenakannya, sementara kawannya nampak sibuk mengamati catatan dalam kertasnya sambil terus berjalan melewati dirinya yang sedang bersembunyi. Selama beberapa detik mata birunya mengamati mereka berdua pergi dan ia mulai menduga siapa mereka sebenarnya. Astaga! Yakuza lagi? Pikir anak itu cemas sekaligus lega melepas hembusan nafasnya kala dua pria muda berjas hitam itu telah berbelok dan langkah-langkah mereka menghilang dari pandangannya. Dengan cepat ia pun berpikir, kalau benar tempat ini adalah markas yakuza maka rumah ini bukanlah tempat yang aman baginya, batin anak lelaki itu resah. Bergegas mengambil langkah seribu, anak lelaki itu seketika mengayunkan cepat kakinya seiring ketergesaan yang mengarahkan dirinya pada sebuah rencana yang terbersit di dalam pikirannya, yaitu kabur dari sana secepat mungkin.

Seperti bayangan yang merayap dalam diam, anak lelaki itu melintasi pelan dinding-dinding penuh lukisan-lukisan sangat besar dan juga berbagai barang mewah lainnya yang di pajang di sana sini, menyusuri karpet merah yang seakan tiada habisnya hingga ia menemukan sebuah tangga pualam besar menuju ke lantai dasar. Menunggu dalam kecemasan, dirinya pun bersembunyi di suatu sudut seperti anak singa yang belajar berburu, mengamati situasi di bawah sana dan memastikan tak ada seorangpun di sekitar tempat itu yang akan menggagalkan rencananya. Dengan gesit ia meluncur cepat menuruni undakan megah itu hingga sampai di lantai dasar dan langsung melesat memasuki koridor terdekat yang dilihatnya sambil berharap segera menemukan pintu keluar.

Rupanya rumah ini terlalu besar untuk ditelusuri dan dirinya tak ingat lagi lorong maupun koridor mana yang telah dilewatinya. Dinding-dinding, pintu-pintu dan ruangan-ruangan sepintas nampak serupa dalam interior mewahnya yang sangat kental akan gaya aristokrasi Eropa klasik. Anak itu terus berusaha menyusup dari satu tempat ke tempat lain, berhati-hati dalam langkahnya dengan sesegera mungkin menghindar ketika dilihatnya sosok-sosok pria atau wanita berseragam mewah nampak berjalan hendak melintas ke arahnya. Dirinya terus mencari pintu keluar paling aman tanpa harus tertangkap oleh siapapun dan yang pasti itu bukanlah pintu utama rumah ini dimana penjagaan dan pengawasan tentunya lebih ketat di sana.

Jengah mencari arah tanpa pemetaan yang jelas, ia pun memilih untuk berhenti sejenak dan menyelinap masuk ke salah satu ruangan. Cahaya matahari nampak redup menerobos masuk melalui jendela-jendela kacanya yang menjulang tinggi, menembus selapis vitrage putih transparan, menerangi sebuah ruang duduk dengan rak-rak buku yang tersusun rapi di sepanjang dinding sebelah kanan. Tak berbeda dengan segala yang ada di rumah ini, ruangan itu pun terlihat elegan dengan nuansa khas Rococo dimana arsitektur klasiknya membawa keindahan dan kemewahan tersendiri, mengalir bersama kehangatan yang menghidupkan suasana di dalam sebuah hunian. Lantainya yang terbuat dari pualam putih halus nampak berkilauan memantulkan cahaya matahari, memperlihatkan corak alami nan lembut, cerminan sejati kemewahan batu alam berkualitas terbaik; langit-langitnya yang tinggi memberikan kesan lapang dan lega dengan penerangan yang artistik dimana sebuah lampu kristal tergantung dengan cantik mengisi kemewahan interiornya; ruangan besar itu tak luput pula dari balutan wallpaper cokelat muda bercorak klasik keemasan yang memberi kesan hangat di sepanjang dindingnya. Ada berbagai pajangan mewah dan barang-barang antik di sekeliling ruangan yang tertata rapi di meja-meja yang tersedia dan di tengah-tengah ruangan ditempatkan tiga sofa besar yang nyaman berwarna coklat keemasan, tak jauh dari perapian di sisi kiri dinding yang kini sedang tidak digunakan di hari seterik ini di musim panas. Dari balik jendela-jendela kaca yang juga menghadap ke arah taman, anak laki-laki itu dapat melihat indahnya taman bunga dan kembali terpekur menatap pemandangan musim panas di luar sana dengan langit birunya yang begitu cerah. Terik dan panasnya udara di luar bahkan tak terasa di dalam rumah, terhalang oleh selapis vitrage dan juga pendingin ruangan yang senantiasa mengatur suhu di rumah besar itu agar tetap sejuk.

Hanyut dalam lamunan yang membawanya terdiam sejenak di sana tiba-tiba pikirannya terpecah oleh dentang keras suara jam, membuat hati bocah itu mencelos terkejut. Wajahnya memucat disergap rasa takut yang mengalihkan tatapannya dari luar jendela, membenturkannya pada sebuah jam antik yang berdiri menjulang di sudut ruang duduk itu yang kini terus berbunyi dengan nyaringnya. Dentangnya yang panjang dan berulang-ulang seketika memecahkan keheningan suasana di dalam rumah. Iris mata anak itu semakin membulat seiring debaran jantungnya yang kian memburu, menatap resah penunjuk waktu antik tersebut yang tak kunjung berhenti berdentang. Jarum-jarum emasnya kini merapat tepat di angka dua belas menandakan waktu telah di tengah hari. Kepanikan semakin menjadi bukan karena waktu yang ditunjukkannya, ataupun dentangnya yang menggema, melainkan suara hiruk pikuk para pelayan yang kian terdengar semakin riuh dari kejauhan. Geliat kegiatan nampaknya memang lebih banyak terjadi di lantai dasar rumah megah ini, membuat anak itu semakin gelisah memikirkan bagaimana bila dirinya nanti sampai tertangkap? Mengantisipasi kemungkinan buruk terhadap siapa pun yang dapat sewaktu-waktu menemukannya di sana, anak laki-laki itu segera meninggalkan ruangan dan berlari sekencang mungkin menyusuri koridor panjang.

Suara derap kakinya mengagetkan orang-orang, membuat pelayan-pelayan wanita menjerit terkejut ditabraknya dan teriakan-teriakan geram pria-pria berseragam hitam mengiringinya pergi, menuntut bocah itu berhenti saat mereka mulai mengejarnya, membuat kegaduhan terjadi di sepanjang koridor luas itu, menambah ketakutan si bocah yang sama sekali tak ingin tertangkap dan disiksa lagi. Dirinya berlari semakin liar kala pria-pria berseragam mewah itu masih terus mengejarnya dan meneriakkan kata-kata seperti penyusup dan perusuh yang tak dipedulikannya. Yang lebih mengerikan lagi jumlah mereka seakan bertambah semakin banyak, mengejarnya dengan pedang-pedang katana di tangan dan terus berderap menyusuri koridor-koridor berlantai pualam hingga akhirnya nafas si bocah pun mulai menipis dan menyudutkannya masuk ke dalam sebuah ruangan. Secara reaktif ia mengunci pintu ganda ruangan itu dari dalam, membendung kerusuhan yang mengejarnya hingga terhenti di sana, membuat para pengejarnya berteriak geram dan menggedor marah dari balik pintu kayu tersebut.

Desah nafas lelah mengalun cepat keluar dari bibirnya dan tatapan ketakutan memaku mata biru si bocah yang terus tertuju pada ambang pintu. Gedoran, dobrakan dan teriakan-teriakan penuh kemarahan di luar sana berangsur-angsur menghilang tergantikan hening seiring gemuruh detak jantungnya yang kembali normal. Di tengah gelisah sesekali terdengar kasak kusuk di luar sana menandakan orang-orang itu belumlah menyingkir dari balik pintu, entah apa yang sedang mereka lakukan tapi kegaduhan itu mengisyaratkan upaya awal untuk segera meringkusnya. Untuk sesaat dirinya bisa sedikit bernafas lega, setidaknya ia masih aman berada di dalam sana selagi memikirkan rencana berikutnya.

Ketika ia berbalik meninggalkan ambang pintu, tanpa disadarinya ternyata dirinya telah memasuki sebuah paviliun yang membuatnya tak sanggup untuk berhenti terperangah. Sejauh matanya memandang berkeliling ke segala sudut, dirinya hanya bisa tercengang mendapati dekorasi ruangan besar yang sangat tidak biasa di dalam sebuah rumah. sungguh ada ya orang yang menciptakan ruangan seperti ini di rumahnya? pikir anak itu takjub sekaligus heran.

Langkah penasaran membawa anak itu masuk lebih jauh, mengedarkan pandangan ke setiap sudut yang dilaluinya. Matanya tertarik mengamati puluhan botol kaca minuman beralkohol dalam berbagai bentuk dan label yang berjajar dan tertata rapi di sepanjang rak kayu coklat mengkilap, memenuhi salah satu sisi ruangan tersebut. Pemandangan itu belumlah seberapa mengesankannya dibandingkan pemandangan keseluruhan dari paviliun ini yang menyerupai sebuah rumah minum, dimana terdapat meja bar mewah beserta kursi-kursi bundarnya yang berkaki tinggi dan segala perlengkapan bartending yang berdiri dengan elegan di depan deretan rak-rak minuman. Tak jauh dari bar tersebut terlihat sebuah lemari berpendingin dengan botol-botol anggur yang nampaknya disimpan secara khusus di sana.

Paviliun ini sesungguhnya merupakan ruangan terpisah yang sangatlah besar dengan sebuah ambang pintu lebar berdaun pintu ganda dan didekorasi layaknya sebuah pub pribadi yang menunjukkan kelas dan gaya hidup pemiliknya. Lantainya yang mengkilap terbuat dari marmer hitam dan putih menyerupai papan catur raksasa yang sangat serasi berpadu dengan sebuah grand piano hitam yang berdiri di sudut terjauh dari pintu masuk, memberi nuansa gothic di tengah ruangan yang sangat kental akan sentuhan baroque di dalamnya. Sebuah gramophone antik dengan koleksi plat-plat piringan hitamnya terpajang apik di sudut lainnya. Nama-nama maestro dunia dan musisi-musisi besar masa lampau tampak mengisi rak koleksi plat piringan hitam yang dari sampulnya saja sudah terlihat begitu estetis, menggambarkan selera seni yang nampaknya juga tinggi dari sang pemilik. Tak jauh dari gramophone bercorong keemasan itu, keberanian warna merah menyeruak di antara dominasi gothic yang kaku. Memberikan kesan glamour nan dinamis dengan hadirnya permadani merah anggur dan juga satu set meja billiard mewah semerah darah yang berdiri kokoh dengan kaki-kaki hitamnya, tepat di bawah lampu kristal nan indah tergantung di tengah-tengah ruangan berlangit-langit tinggi menyerupai kubah tersebut. Membuat anak laki-laki itu menengadah penuh takjub mencermati indahnya lukisan dan ukiran ornamen keemasan yang mengelilingi tepian kubah.

Berseberangan dengan kesan dramatis di pusat paviliun, sofa-sofa panjang yang nyaman ditempatkan merapat pada salah satu sudut ruangan, menjadikannya sebagai area bersantai yang mewah di paviliun itu. Sebuah meja rendah nampak menyatukan rangkaian sofa kulit lembu berwarna coklat tembaga yang menebar kehangatan di latar wallpaper coklat muda bercorak klasik keemasan, membalut keseluruhan dinding paviliun yang tak luput dihiasi lampu-lampu hias dan ornamen-ornamen rumit di beberapa sudutnya. Nyaman dan mewah mungkin itulah kiranya kata yang tepat untuk menggambarkan paviliun ini, pikir bocah itu terpesona.

Di kala perhatiannya tengah teralih pada berbagai ukiran indah yang menghiasi tepi langit-langit ruangan, anak laki-laki itu sama sekali tidak menyadari akan sesuatu di sana hingga dirinya terkesiap dan berbalik dengan tiba-tiba ketika dirasakannya kehadiran seseorang yang sedang mengawasinya dalam keheningan. Anak itu langsung melihat sosok yang entah semenjak kapan telah berdiri di samping meja billiard tak jauh dari tempatnya berada, dia adalah pria yang sama dengan pria misterius yang pernah nyaris menabraknya di jalanan saat hujan deras tempo hari. Dengan sangat terkejut anak itu menoleh ke ambang pintu yang masih tertutup dan memastikan pintu itu terkunci rapat, sebelum parasnya yang memucat langsung berpaling kepada sosok sang pria, menatapnya ngeri. Perlahan dirinya mundur menjauhi pria itu hingga punggungnya terantuk sisi piano dan berhenti di sana dengan tatapan terpaku pada wajah dingin pria misterius yang masih bersandar di sisi meja billiard dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Bagaimana kau bisa masuk?" tanya si bocah pucat ketakutan.

Pria misterius itu hanya menatapnya dingin. "Ini rumahku, aku tahu semua pintu rahasia di sini." Jawabnya tenang dengan keangkuhan absolut di setiap kata-katanya.

Bocah malang itu hanya bisa terdiam menatapnya, tak berani bersuara atau bahkan bergerak untuk mencoba kabur dari hadapan pria itu. Aura yang terpancar dari sosoknya terasa ganjil dan menakutkan, sulit bagi dirinya untuk menerka apakah dia seorang yang baik ataukah jahat karena parasnya yang rupawan sama sekali tidak menunjukkan seraut ekspresi dan hanya menyorotkan sinar mata yang gelap dan dalam.

Sepintas sosok itu tak jauh berbeda dengan kesan terakhir yang diingatnya ketika pria misterius tersebut nyaris menghabisi nyawanya di jalanan dengan sebuah Ferrari merah. Wajah tampannya kini tak lagi tersembunyi di balik kacamata hitam, memperlihatkan sepasang mata coklat terang yang menatap lurus kepadanya. Sebenarnya dia seorang pria yang sangatlah menarik andai saja raut wajahnya tidak sedingin itu, pikir bocah itu yang masih terperangah menatapnya. Rambut coklatnya yang panjang nampak indah dan terawat, terikat dengan rapi di belakang punggungnya yang bidang, menyisakan helaian-helaian poni rambut yang menjuntai di sisi wajah mulusnya yang berkulit putih, nyaris sejajar dengan hidung mancungnya yang terangkat tinggi-tinggi dengan raut beku bak seorang aristokrat nan angkuh. Alis coklatnya yang melengkung tipis berkerut janggal menunjukkan ketidaksukaan ketika mata coklat itu memindai sosok pucat si bocah dari ujung kaki hingga ke puncak kepalanya, membuat bibir tipisnya yang terkatup rapat ikut melengkung kecut seolah mencibir penampilan anak itu dalam kebisuan, sementara ia sendiri berdiri pongah di sana dengan segala kesempurnaannya yang tak bercela. Tubuhnya yang begitu atletis tampak ramping semampai menjulang di hadapan anak laki-laki itu, terbalutkan kemeja sutra putih sewarna mutiara yang tertutupi oleh vest abu-abu terang dan nampak begitu elegan berpadu dengan celana panjang hitam yang membalut tungkai jenjangnya, sepasang sepatu kulit nan mewah berwarna hitam mengkilap tak luput pula melengkapi penampilannya yang mencerminkan sosok seorang tuan muda dari kalangan terpandang.

Sama seperti ketika pertama kali mereka bertemu, pria muda itu hanya bungkam memandang si bocah penuh keangkuhan, membuat anak itu jengah berdiri di sana dalam tatapan penuh selidik dan kecurigaan yang seolah menelanjanginya hingga akhirnya pertanyaan pertama terlontar dari bibir pria itu.

"Siapa namamu?" tanyanya singkat dengan nada bicara seorang diktator.

Pertanyaan tersebut membuat anak itu bingung harus menjawab bagaimana, dengan gugup ia mencoba mengeluarkan suaranya.

"A-aku... Shiroi." Jawabnya memperkenalkan diri.

Pria itu hanya diam menunggu kata-kata selanjutnya namun tak sepatah pun keluar dari mulut si bocah yang semakin kebingungan harus memulai pembicaraan dari mana. Sementara di dalam benaknya beribu prasangka bermunculan membentuk berbagai pertanyaan, apa pria ini juga seorang Yakuza? pikir anak laki-laki bernama Shiroi itu gusar hingga akhirnya manik matanya yang gelisah bertemu pandangan dengan tatapan pria di hadapannya, namun demikian ia sama sekali tak berani menanyakan satu pertanyaan pun kepada pria muda yang nampaknya kurang bersahabat tersebut.

"Berapa usiamu?" tanyanya lagi.

"Sembilan tahun." Jawab Shiroi yang gugup sambil memilin-milin jemarinya, berharap pria itu dapat bersikap sedikit lebih menyenangkan.

"Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu. Jelaskan apa yang membuatmu berlarian di jalanan seperti kemarin?"

Mendengar pertanyaan yang terlontar bagai sebuah introgasi terhadapnya, Shiroi merasa ragu untuk menjawab, dirinya mempertimbangkan apakah ia harus berkata jujur kepada pria yang tidak dikenalnya ini? Ada resiko dan akibat yang dipikirkannya dari segala jawaban yang mungkin akan diberikannya nanti. Dirinya melirik paras pria itu yang masih begitu beku memandangnya dengan tatapan tajam seperti mata elang, bagaimanapun mengerikannya pria ini tetapi ia telah menolong dan membawa pulang dirinya saat ia jatuh pingsan di jalanan tempo hari.

"Aku melarikan diri dari kelompok yakuza yang menculik anak-anak," kata Shiroi pada akhirnya mulai bercerita, "mereka akan membunuhku kalau sampai menemukanku."

"Apa motifnya membunuhmu?" sahut pria itu cerdik yang nampaknya mulai tertarik masuk ke dalam pembicaraan.

"Aku melihat banyak anak-anak seusiaku dibawa dan dikurung bersamaku dalam sebuah ruangan." Ucapnya sambil menerawang kedalam ingatan. "Satu persatu mereka membawa anak-anak itu entah kemana dan mereka tak pernah kembali. Aku sempat mendengar orang-orang yakuza itu membicarakan soal menjual organ tubuh anak-anak. Dan itu membuatku sangat ketakutan. Selama disana, aku melihat banyak sekali anggota mereka berkeliaran di tempat itu."

"Dan kau salah satu korban perdagangan manusia?" tanyanya lugas yang langsung dijawab Shiroi dengan sekali anggukan singkat.

"Lalu di mana orangtuamu?" tanya pria itu lagi melanjutkan pembicaraan.

Shiroi hanya menggeleng. "Aku tak tahu siapa orangtuaku, semenjak kecil aku sudah tinggal dan dibesarkan di panti asuhan. Aku tak ingin lagi kembali kesana. Tempat itu mengerikan.. dan mereka pasti akan mengirimku lagi ke kelompok yakuza demi sejumlah uang karena banyak yakuza yang datang mengambil anak-anak yatim piatu dari panti asuhan miskin dengan modus adopsi ilegal." Jelas Shiroi.

"Modus yang cerdik," timpal pria muda itu dengan senyuman kecil yang menarik sudut bibirnya membentuk sebuah seringai, "menjualmu hidup atau mati, itu sepertinya sangat menarik."

Mendengar perkataanya tersebut seketika kepanikan menyebar cepat menjalari tubuh Shiroi bagai racun yang melumpuhkan logikanya.

"K-kau bukan yakuza kan?" lontar bocah itu ketakutan tak lagi bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya.

Pria muda itu hanya menyeringai semakin lebar seiring sorot matanya yang berkilat licik. "Begitu ya menurutmu?" tanyanya memancing ketakutan Shiroi. "Aku sering bertemu dengan banyak Yakuza.. Jaringan mana yang sedang memburumu? Mungkin aku mengetahuinya." Sahut pria itu dengan gaya bicaranya yang tenang namun penuh selidik. Menekan sejauh mana keberanian Shiroi dalam menghadapinya.

Sekejap kata-kata pria itu meruntuhkan ketenangan yang semenjak tadi susah payah dibangun oleh Shiroi, menggantikan keberaniannya dengan kengerian yang menjalar cepat menguasai pikirannya, mencengkeram kuat dirinya dalam kepanikan.

"Kumohon jangan bawa aku kepada mereka! Jangan serahkan aku!"

Melihat raut muka anak itu yang begitu ketakutan, pria misterius tersebut hanya tertawa menikmati permainannya sebelum akhirnya ia berkata dengan santai penuh kepuasan. "Aku bukan yakuza."

Tercabik di antara ketakutan dan kebingungannya sendiri, Shiroi hanya bisa diam terperangah melihat sosok pria yang kini berlalu begitu saja dari hadapannya, berjalan ke arah ambang pintu yang semenjak tadi telah kembali bising oleh gedoran dan gebrakan orang-orang di luar sana.

Dengan tenang dan penuh wibawa, pria muda itu membuka kedua daun pintu secara bersamaan dan membuat kerumunan pengawal serta pelayan-pelayannya seketika terdiam. Tatapan matanya yang menyapu pandang pada orang-orang itu membuat mereka semua serentak mundur dan menurunkan bilah-bilah *katana yang telah terhunus begitu mengetahui sang tuan rumah sendirilah yang membuka pintu paviliun itu.

Salah seorang pria muda bertubuh tinggi tegap segera maju menghadapnya, membungkuk sopan sebelum dirinya mulai berbicara. "Tuan, kami mendapati seorang penyusup masuk ke ruang pribadi anda." Lapor pria yang juga memegang sebilah katana di tangannya.

"Penyusup... maksudmu bocah yang ada di dalam?" tanya sang tuan tanpa memalingkan pandangannya dari kepala pengawal itu.

Kepala pengawal berjas hitam tersebut seketika meloloskan pandangannya melampaui bahu sang tuan yang juga bertubuh tinggi, melihat pada sesosok bocah yang nampak ketakutan di dalam sana.

"Ah.. Iya." Jawabnya tegas penuh hormat seraya mengangguk rendah di depan tuannya. 

Sang tuan menghembus nafas kesal sebelum ia memanggil nama seseorang, "Mr. Lie...!" Katanya tegas melempar pandangan menyisir di antara para pelayan dan pengawalnya.

"Saya di sini, tuan." Suara seorang lelaki tua menyahut dengan penuh kesopanan dari sisi kanannya. Pria itu keluar dari tengah kerumunan dan membungkuk singkat di depan sang tuan.

"Tolong kau urus bocah itu, aku tak mau dia membuat kegaduhan lagi di rumahku.. dan kalian semua, bukankah kalian masih memiliki pekerjaan yang harus di lakukan?" tegur sang tuan jengah melihat kerumunan pria dan wanita berseragam hitam yang semenjak tadi hanya terbengong-bengong berdiri di depan pintu ruang barnya.

"Baik.. maafkan kami tuan." Kata mereka yang serentak tersadar. Sang Tuan hanya memasang wajah tak peduli dan langsung melangkah pergi membuat kerumunan itu membukakan jalan baginya.

Shiroi tercengang tak percaya melihat pria itu pergi begitu saja meninggalkan dirinya yang meringkuk di lantai ruangan bar, setelah sebelumnya ia tega mempermainkan bocah sembilan tahun tersebut dengan kata-katanya yang kejam hingga anak laki-laki itu gemetar ketakutan di sana.

Perasaan bingung dan hampa kini meliputi batin Shiroi menyaksikan orang-orang di luar sana satu persatu telah pergi tergopoh-gopoh meninggalkan tempat itu, lalu bagaimana dengan nasibnya sekarang? Mereka seolah tak perduli dan menyingkir secepat mungkin sebelum tuan mereka murka kembali, sementara itu di ambang pintu yang tetap tinggal hanyalah seorang pria tua yang masih berdiri di sana.

Pria paruh baya itu bergegas mendatangi anak laki-laki yang menatap bingung kepadanya, langkahnya yang tenang dan elegan semakin lama semakin mendekat hingga akhirnya pria itu berhenti di hadapan Shiroi dan membungkuk rendah kepadanya. Seraya tersenyum ramah ia menatap mata biru Shiroi yang ketakutan dengan tatapannya yang hangat, "Nak.. Kau tidak apa-apa?" tanyanya ramah kepada anak itu yang masih tak bergerak di atas lantai.

Shiroi yang menengadahkan wajahnya memandang pria tua itu penuh tanya sebelum akhirnya ia mengangguk pelan.

“Nama saya Lie Siehuan, saya butler yang mengurus semua urusan rumah tangga di kediaman ini. Kau dapat memanggilku Mr. Lie.” Katanya sopan memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan tua itu kepada bocah yang nampak sangat rapuh.

Anak itu menerima uluran tangan Mr. Lie dengan gemetar sebelum menggenggamnya, "Ak-akuu Shiroi." Jawabnya takut-takut yang memandang bingung pria tua itu.

Mr. Lie hanya tersenyum, sekilas mata hitamnya melirik bilur-bilur dan memar yang melingkari pergelangan tangan anak laki-laki itu, menyiratkan ikatan-ikatan kuat dan belenggu yang nampaknya telah terlalu lama menyakiti tangan kurus bocah itu.

"Ayo, ikutlah denganku." Kata pria itu hangat yang seketika kata-katanya meluluhkan Shiroi untuk patuh dan segera bangkit berdiri.

Shiroi tak mau melepaskan genggaman tangannya dan nampaknya Mr. Lie sendiri juga mengerti bila bocah itu mungkin masih takut dan merasa asing dengan tempat ini. Pria itu kembali membawanya ke kamar yang semula di tempati oleh Shiroi, tanpa menunggu lama ia langsung menyiapkan air hangat yang tercurah mengisi bathtub besar di kamar mandi mewah di kamar itu dan satu persatu melepaskan kancing piyama Shiroi dengan sabar.

"Apa paman yakuza?" tanya anak itu tiba-tiba dalam tatapan diamnya yang terus mencermati sosok tua berpakaian jas hitam dan berdasi kupu-kupu tersebut.

Jemari Mr. Lie terhenti setelah ia meloloskan kancing terakhir dari piyama Shiroi dan ia mengalihkan pandangannya kepada wajah lugu anak laki-laki itu, tak sepenuhnya mengerti apa maksud dari pertanyaan tersebut tetapi ia tetap menjawabnya dengan ramah,

"Saya bukan yakuza."

"Apakah mereka juga bukan yakuza?" tanya Shiroi tak percaya.

"Yah, mereka semua juga bukan yakuza." Jelas Mr. Lie mengikuti cara berpikir anak itu yang masih sangatlah lugu.

"Lalu tempat apa ini?" tanya Shiroi tak mengerti.

Mr. Lie hanya tersenyum. "Kau sedang berada di kediaman Tuan Cannuis. Pria muda yang tadi berbicara denganmu di ruang bar itu adalah Tuan Gatsuki Cannuis, pemilik rumah ini." Tambahnya menjelaskan.

Pria dingin dan angkuh itu? Pikir Shiroi yang hanya diam saja memikirkan betapa menakutkannya tuan rumah pemilik dari kediaman mewah ini. Dirinya tak tahu siapa sebenarnya pria misterius itu kecuali namanya yang disebut-sebut sebagai tuan Cannuis, menurutnya pria itu seperti seorang bos yakuza yang menakutkan.

Shiroi membiarkan Mr. Lie melepaskan seluruh pakaiannya, pria tua itu hanya menghela nafas prihatin melihat bilur-bilur dan bekas luka di sekujur tubuh anak itu.

"Apa yang telah terjadi padamu nak, hingga tubuhmu terluka seperti ini?" tanyanya iba.

"Mereka memukuliku." Jawabnya polos.

"Mereka...? Siapa yang kau maksud?" tanya Mr. Lie ingin tahu.

"Orang-orang yakuza itu. Mereka akan menyiksaku kalau aku mencoba kabur."

Pria tua itu hanya menghela nafas pelan dan tak bertanya apa-apa lagi, membiarkan Shiroi untuk mandi sebentar dan ia mulai menyiapkan pakaian yang pantas untuk dikenakan anak itu nantinya. Setengah jam kemudian bocah bermata biru muda itu telah berdiri di depan sebuah cermin tinggi, terkesima menatap penampilannya yang nampak sangat berbeda. Dirinya kini telah rapi berbalut pakaian yang menurutnya merupakan pakaian paling mewah yang pernah dikenakannya, sementara Mr. Lie yang berdiri di belakangnya menyisir rambutnya dengan sangat hati-hati,

"Rambutmu halus sekali nak." Tuturnya tanpa mengalihkan pandangan dari apa yang sedang dikerjakannya.

Shiroi yang merasa aneh mendapatkan kata-kata semacam itu jadi berpikir apa maksud di balik kata-kata yang terdengar sebagai sebuah pujian itu. Ia bahkan merasa Mr. Lie seolah menghargainya lebih sebagai sesama manusia normal, tidak menganggapnya seperti mahluk aneh yang menjijikan seperti apa yang didapatkannya di panti asuhan. Selama ini kehidupannya seakan tak berharga di mata orang-orang, mereka melihat dirinya seperti hama yang membawa wabah kesialan, orang-orang di panti selalu memperlakukannya dengan kasar seolah ingin mengenyahkannya pelan-pelan. Mereka tak segan merenggut dan menarik rambutnya hingga ia kesakitan atau bahkan memukul dan mencemooh dirinya bila seseorang tengah kesal melihat tampang pucatnya yang dianggap berpenyakit dan membawa sial itu. Tetapi kini entah mengapa Mr. Lie justru memperlakukannya dengan lembut, menyentuhnya secara hati-hati seakan takut melukainya, pria tua itu juga menyuruh Shiroi untuk duduk sejenak dan dengan cekatan ia memotong helaian-helaian keperakan rambut bocah itu yang nampak seputih salju, merapikan potongannya dan membuat penampilan Shiroi jauh lebih pantas dalam pakaian yang dikenakannya.

Meski senang mendapat limpahan perhatian dari Mr. Lie tetapi Shiroi yang merasa canggung akan hal itu justru bertanya-tanya dalam hatinya mengapa ia diperlakukan sedemikian baik oleh pria tua itu, tidur di kamar yang mewah, mendapatkan ranjang yang nyaman, serta dilayani seperti layaknya anak seorang raja, baginya semua ini adalah sesuatu yang sangat asing dalam hidupnya.

"Paman... kenapa paman baik sekali padaku?" tanya Shiroi, keluguannya tak mampu membendung rasa ingin tahunya.

Pria tua itu tersenyum simpul. "Kau adalah tamu di rumah ini jadi saya wajib melayanimu dengan baik."

"Apa semua tamu juga mendapatkannya?" heran, Shiroi mengernyitkan alisnya.

Mr. Lie terkekeh mendengarnya. "Seharusnya memang begitu, sayangnya kami nyaris tak pernah memiliki tamu yang menginap di rumah ini. Tuan Muda telah berpesan secara khusus agar saya sendirilah yang mengurus segala kebutuhanmu, jadi kau adalah tamu kehormatan kami." Jawabnya sangat normatif.

"Tapi apa benar begitu.. ?" tatap bocah lugu itu tak percaya. "Sebenarnya apa yang terjadi pada Tuan Muda? Kenapa tadi dia begitu marah, sepertinya... Tuan Muda tidak suka aku ada di rumahnya?"

Mr. Lie diam tertelan kebungkamannya, ia tahu anak ini pastilah merasakan suatu keganjilan dari perangai tuannya yang memang tidak pernah bisa berlaku ramah, "Oh mengenai hal itu... Tuan muda kemarin pulang dalam keadaan basah kuyup dan beliau dengan panik membopongmu yang pingsan masuk ke dalam rumah. Tuan Muda belum bercerita banyak tetapi nampaknya ia sangat mengkawatirkanmu. Beliau mengatakan bahwa dirinya telah menabrak seorang anak dan saya tahu ia sangat cemas melihat wajahmu yang begitu pucat, beliau bahkan menungguimu hingga seharian penuh namun kau tak kunjung tersadarkan diri. Saya mewakili Tuan Muda meminta maaf atas kecerobohan beliau, Tuan kami memang masihlah berusia muda dan sedikit kurang terbiasa beramah-tamah namun demikian ia pria yang baik dan sama sekali tidak bermaksud buruk terhadapmu." Ujar Mr. Lie yang membungkukkan sedikit tubuhnya dan bicara dengan sopan memohon pengertian pada Shiroi usai menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya.

Bocah laki-laki itu hanya mengangguk dan tak punya alasan untuk tidak percaya pada kata-kata Mr. Lie yang begitu ramah kepadanya. Mungkin apa yang terjadi selama dua hari ini adalah garis takdirnya yang lain, ia yang berhasil lolos dari kurungan panti asuhan sangat beruntung tidak berakhir tragis di tangan sindikat yakuza namun justru bertemu dengan maut saat Ferrari merah yang melaju sangat cepat itu nyaris menebas tubuhnya dan sungguh ajaib ia masih bisa hidup sampai hari ini, terbangun dari segala mimpi buruk itu di sebuah rumah mewah dan betapa mengejutkannya saat realita kini kembali dihadapkan kepadanya dalam sosok seorang pria muda yang dingin dan angkuh, entah kehidupan macam apa yang harus ia lakoni setelah ini? Pikirnya gamang.

Ketukan pelan terdengar tiba-tiba dari balik pintu, seorang pelayan wanita berpakaian maid berwarna hitam membuka pintu kamar sesaat setelah Mr. Lie menyahut dan mengijinkannya masuk. Pelayan muda itu membungkuk sekilas sebelum berkata, "Makan siang akan segera dihidangkan, Tuan Muda menunggu anda di ruang makan." Tuturnya sopan.

"Baik, kami akan segera turun." Sahut Mr. Lie lugas.

Gadis pelayan itu mengerti dan kembali membungkukkan badannya sebelum mengundurkan diri dari hadapan mereka berdua, menutup pintu kamar tanpa berkata apapun lagi.

Shiroi terperangah menyaksikan apa yang baru saja terjadi di hadapannya hingga setelah pelayan itu menghilang di balik pintu, tatapannya masih terpaku penuh kecanggungan ke tempat di mana gadis itu tadi berdiri.

"Apa semua orang di rumah ini melakukan hal semacam itu?" tanyanya keheranan.

Mr. Lie yang tidak sulit menerka latar belakang sosial seperti apa lingkungan tempat anak ini berasal hanya bisa tersenyum memakluminya. Shiroi pastilah belum terbiasa dengan tata krama di lingkungan elit *zaibatsu.

"Ya kau benar. Itu merupakan etika dan sopan santun mendasar yang harus dilakukan di rumah ini. Semua orang harus melakukannya bila sedang berbicara kepada orang yang lebih dihormati. Tuan Muda akan sangat murka bila ada seseorang yang berlaku tidak pantas di hadapannya."

Shiroi sangat mengerti bila tata krama sangatlah kuat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Jepang pada umumnya dan itu sudah terjadi berabad-abad, namun yang membuatnya gelisah bukanlah bagaimana ia harus bertata krama melainkan adalah perangai sang Tuan Muda itu sendiri. Dirinya masih ingat betapa Tuan Muda pemilik rumah ini adalah seorang lelaki yang dingin dengan tatapannya yang tajam, bagaimana nantinya bila ia tanpa sengaja berbuat kesalahan atau ada sesuatu yang tidak berkenan di hadapan sang Tuan Rumah? Pikirnya cemas memandang Mr. Lie dengan tatapan mengiba.

"Saat kau bertemu dengan Tuan Muda sebaiknya kau memberinya salam dengan sopan, kau mengerti Shiroi?" Kata Mr. Lie membalas tatapannya itu.

Shiroi hanya mengangguk dalam diam menanggapi kata-kata Mr. Lie yang seakan bisa membaca isi pikirannya,

"Ayo, sebaiknya kita turun sekarang." Tutur Mr. Lie yang mengajaknya beranjak pergi.

Shiroi pasrah saat dirinya dibawa keluar meninggalkan kamar itu oleh Mr. Lie, ia berjalan dengan kepatuhan yang penuh ketegangan tanpa berbicara sepatah kata pun saat mereka melangkah turun ke lantai bawah dan menyusuri koridor-koridor panjang. Suara langkah kaki mereka yang menggema memenuhi koridor berlangit-langit tinggi membuat anak itu semakin gelisah menuju apa yang harus dihadapinya sebentar lagi. Dirinya nyaris tak memperhatikan kemana kakinya melangkah dan hanya bungkam mengikuti langkah Mr. Lie dengan perut yang serasa melilit-lilit diremas kecemasannya. Semua perasaan tegang, gelisah dan takut seakan telah menjadi satu memenuhi dirinya, membuat Shiroi yang belum makan apa-apa semenjak kemarin sama sekali tidak merasa lapar sedikitpun dan tak ingin memakan apapun saat ini. Andai ia boleh memilih, ingin rasanya ia tetap berada di kamarnya dan tak perlu lagi menemui pria muda yang membuatnya ketakutan setengah mati itu. Tetapi Shiroi tahu, ia tidak boleh bersikap penakut seperti ini, bagaimanapun dirinya harus menghadapi pria itu dan melawan ketakutannya sendiri.

Bocah yang terlampau polos itu tak sampai hati menolak kebaikan Mr. Lie yang selalu tersenyum hangat kepadanya, ia tak sanggup mengabaikannya bahkan ketika pria tua itu membukakan pintu ruangan besar tersebut untuknya, Shiroi seakan telah terhipnotis oleh senyuman hangat pria tua itu dan ketakutannya seketika sirna terlupakan saat dirinya tak kuasa menolak tatapan Mr. Lie yang mempersilahkannya masuk terlebih dahulu.

Ruangan itu rupanya adalah sebuah ruang makan pribadi yang amatlah mewah, ditata sedemikian indahnya dalam interior yang tak kalah mempesona dibandingkan ruangan-ruangan lain di rumah itu. Meski mulanya meragu Shiroi yang terus melangkah maju memasuki ruangan bernuansa putih gading dan keemasan tersebut sempat berhenti sejenak menoleh dengan gugup kepada Mr. Lie yang segera menutup pintu di belakangnya. Ketakjuban dan rasa canggung seketika langsung menghinggapi benak anak laki-laki bermata biru muda itu menjebaknya dalam kebingungannya sendiri kala dirinya mengedarkan pandangan menyisir sebagian sudut ruangan, tak sanggup memilih di antara ketakjubannya saat mendapati betapa elegannya suasana di dalam ruangan berinterior Neoclassic tersebut ataukah menutupi kecanggungan yang membuatnya bersikap kikuk dan terlihat bodoh. Dirinya yang merasa terlalu rendah, seakan tidak pantas hadir dalam ruangan yang begitu megah dan formal layaknya seorang tamu tak diundang dalam sebuah perjamuan mewah kaum borjuis kelas atas.

Shiroi menelan kegugupan dalam kegentarannya, ia tak ingin terlihat kalah sebelum berperang di hadapan pria berwajah angkuh yang semenjak tadi telah berada di sana. Ia tahu dirinya tengah diamati oleh pria itu, sama sepertinya yang mengamati segala sesuatu di ruangan itu. Mata birunya diam-diam memperhatikan apapun yang nampak begitu asing baginya seperti kehadiran gadis-gadis pelayan berseragam maid yang hilir mudik sibuk menghidangkan makanan dan melayani sang tuan rumah.

Tatapan mata Shiroi perlahan merayap menelusuri sudut demi sudut ruangan yang nampak sangat berbeda dengan pemandangan umum suasana di rumah ini, dimana gaya Rococo yang penuh akan detil dan kerumitan ornamental klasik kerap kali mendominasi interior setiap ruangan dengan perpaduan warna-warna merah yang glamour, coklat nan hangat dan gemerlap sentuhan keemasan di sana sini selaras menambah keindahan tersendiri yang mengisi kemewahan di rumah ini. Namun semenjak memasuki ruangan tersebut, kesan dominan itu seakan hilang. Shiroi dapat merasakan nuansa kedamaian yang terbangun di dalamnya, membuat ruang makan ini nampak elegan bagai sebuah mutiara yang tetap indah dalam kesederhanaannya. Interior nan mewah tak melulu harus glamour, warna-warna terang nan lembut justru mempercantik setiap sudut interior neoclassic-nya yang minim akan ornament tersebut laksana menghadirkan sebuah idealisme modern yang sederhana dalam sentuhan klasik nan elegan dan berkelas. Tetapi terlepas dari semuanya itu, apa yang dihadapinya kali ini semakin membuat hati Shiroi gelisah, haruskah ia duduk dan makan di tempat semewah ini? pikir Shiroi meragu.

Tuan Muda Cannuis telah semenjak tadi duduk menempati kursinya di ujung meja panjang berwarna putih tulang itu. Dengan acuh ia tak memperdulikan apapun di sekitarnya, bersandar di punggung bangku putih klasik itu dengan kedua tangan terllipat di depan dadanya, membiarkan para pelayan wanita melayaninya, menghidangkan makanan dan minumannya. Mr. Lie yang menghampiri tuannya mengundang Shiroi untuk datang mendekat ke meja makan, anak laki-laki itu tahu apa yang harus dilakukannya, dengan canggung ia membungkukan badan kepada sang tuan rumah yang duduk di sana dan berkata dengan gugup, "Selamat siang Tuan." Sapanya kepada pria muda berwajah tampan itu.

Sang tuan rumah hanya memandangnya sekilas dengan tatapan dingin tanpa mengucapkan sepatah katapun dari bibirnya yang terkatup rapat.

Mr. Lie segera menarik salah satu kursi dan mempersilahkan Shiroi untuk duduk di sisi meja makan, tak jauh dari tempat sang tuan rumah berada. Para pelayan wanita dengan sigap segera menghidangkan makanan di hadapan Shiroi, melayaninya layaknya seorang tamu agung, membuat bocah laki-laki itu gelisah dalam kecanggungannnya yang mengakibatkan ia duduk dengan sangat tegang. Diam-diam Shiroi mulai meremas tangannya di bawah meja yang telah berkeringat dingin saat matanya menyapu segala yang ada di atas meja dan bagaimana caranya ia harus bertahan duduk di sana dengan tata cara jamuan ala barat yang sama sekali belum pernah dilakukannya? pikirnya frustrasi.

Terlepas dari perasaannya yang carut marut akibat ketakutan dan kegelisahannya sendiri, Shiroi baru mulai merasa tenang setelah beberapa saat terduduk di sana. Suasana yang damai di dalam sana setidaknya cukup membuat anak itu merasa nyaman berada di ruang makan tersebut. Dirinya mulai terbiasa menikmati setiap bentuk keindahan di sekelilingnya yang tertuang dalam warna-warna terang nan lembut meneduhkan mata. Lantainya yang terbuat dari pualam putih nampak selaras berpadu dengan dominasi dinding putih gading bercorak coral keemasan, membalut di sekeliling ruangan berlangit-langit tinggi yang tak luput dihiasi lampu gantung antik berangka keemasan. Sebuah meja makan panjang berwarna putih tulang berdiri kokoh di tengah ruangan megah itu, modelnya yang sangat khas akan sentuhan neoclassic di apit oleh selusin kursi mewah dengan warna yang serupa. Dekorasi semi klasik di dalamnya menghadirkan suasana classy cassual yang tertuang dalam penataan jamuan makan ala Eropa yang begitu berkelas. Area bersantap itu nampak elegan dipenuhi oleh seperangkat piranti makan porselen putih dengan sendok-sendok peraknya yang tertata rapi. Sebuah buket bunga lily tak lupa menghias di tengah meja dengan vas porselennya yang cantik, menghadirkan romansa keindahan yang menyempurnakan sebuah jamuan makan.

Nampaknya kehadiran ruangan ini seperti sebuah oasis pelepas penat di tengah dinamika kehidupan yang sarat akan konflik, dimana kesederhanaan pada akhirnya hadir memberikan sesuatu yang lain berupa ketenangan dan keteduhan jiwa.

Dengan ragu Shiroi menyentuh salah satu sendok yang tertata berjajar rapi di hadapannya,

"Pakailah sendok yang di sebelah kananmu Shiroi, itu sendok untuk sup." Ucap Mr. Lie sangat jelas dari belakang punggungnya. Memberitahukan agar Shiroi memilih sendok yang tepat.

Tuan Cannuis yang melihat hal itu hanya tersenyum sinis seolah mencemooh kelakuan kikuk Shiroi. Entah apa yang dipikirkan pria muda itu tentang dirinya, Shiroi merasa sangat malu saat Mr. Lie dengan sopan menjelaskan fungsi dari masing-masing sendok dan garpu di hadapannya. Seumur hidup anak itu hanya tahu bagaimana menggunakan sumpit seperti umumnya orang Jepang.

Usai melayani Shiroi pria tua itupun segera mundur dan berdiri di tepi ruangan tak jauh dari area meja makan, bersama beberapa gadis pelayan berseragam maid lainnya, ia mendampingi mereka untuk bersantap siang itu.

Walaupun canggung akan sikap dingin sang tuan muda, sebagai bentuk sopan santunnya Shiroi merasa dirinya tetap harus mengucapkan terima kasih atas kebaikan pria muda itu yang telah menolong dirinya, meski pada akhirnya ucapan terima kasih itu sama sekali tidak ditanggapi sang tuan rumah dan berakhir dalam keheningan. Lama mereka hanya diam dan saling bungkam, shiroi tak berani menatap pria muda itu lagi yang jelas menghindari tatapan mata biru mudanya.

Bagai terperangkap dalam keheningan dan suasana bersantap yang begitu kaku baginya, Shiroi diam-diam menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tatapan matanya menjelajah di setiap menu yang dihidangkan di hadapannya. Ia tak berani melirik sosok tuan rumah yang seolah tak pernah menganggapnya ada, semenjak tadi wajah anak itu tertunduk takut hingga ketertarikannya tertawan pada pemandangan yang tak asing lagi baginya. 

Di salah satu sisi dari ruang makan tersebut terdapat sepasang pintu dan jendela-jendela kaca berambang putih tulang yang menjulang tinggi tepat di hadapannya, tak jauh dari seberang meja tempat mereka duduk bersantap. Ambang-ambang berkaca itu memperlihatkan sebuah pemandangan beranda samping dengan taman bunga yang begitu indah di luar sana. Memanjakan tatapan mata Shiroi yang duduk menikmati sup hangatnya tanpa bicara, mengalihkan pikirannya dengan cepat hingga anak itu terlupa akan kegelisahannya sendiri.

Pemandangan asri pepohonan hijau dan indahnya taman yang mendamaikan hati di luar sana kiranya dapat menjadi penghiburan tersendiri bagi bocah malang yang tak putus dirundung nasib buruk itu. Shiroi yang mulanya berharap pria misterius yang telah nyaris menghabisi nyawanya di jalanan dan membuatnya terjebak dalam situasi membingungkan ini kiranya dengan senang hati akan memberikan penjelasan yang menggenapi seluruh pertanyaan di kepalanya, tapi pada kenyataannya pria itu tetap membeku dalam kebungkamannya yang angkuh dan menyapu dirinya dengan tatapan dingin yang tak bersahabat, membuat Shiroi hilang asa terhadapnya hingga di saat yang tak terduga sebuah pertanyaan aneh tiba-tiba terlontar dari bibir pria muda bermata cokelat cerah itu.

"Apa kau albino?" tanya sang tuan rumah yang kini menatap tajam Shiroi penuh selidik.

Pertanyaan tersebut sontak membuat anak itu terkejut dan tersedak mendengarnya, mengapa tuan muda ini tiba-tiba menanyakan hal seaneh itu kepadanya? Meski dirinya sendiri tahu pertanyaan semacam apa yang dilontarkan oleh pria itu namun Shiroi tak yakin harus menjawabnya bagaimana.

"A-aku tak tahu pasti." Jawabnya ragu dan memilih untuk tidak membeberkan apapun lebih jauh lagi sebelum yakin betul orang macam apa pria di hadapannya kini. "Apa maksud Anda bertanya begitu, Tuan?" tanya Shiroi dengan berani, membela dirinya yang merasa tertekan oleh pria itu.

Sang tuanrumah hanya tersenyum sinis. "Kau tak sebodoh itu kan dengan berpura-pura tidak memahami apa maksud dari pertanyaanku?" timpalnya balik mencecar Shiroi.

"A-aku se-semenjak lahir sudah se-seperti ini." Tukas anak itu menjelaskan keadaan fisiknya yang memang sedikit berbeda dibandingkan penampilan kebanyakan orang Jepang pada umumnya. Rambutnya yang semula kusam kini telah terbasuh bersih memperlihatkan helaian-helaian putih keperakan dan kulit pucatnya terlihat seperti lilin yang sepintas membuatnya sangat menyerupai penampilan seorang albino, meskipun demikian dari tatapan mata yang memandangnya penuh curiga itu, Shiroi sudah dapat menduga bila sang tuan muda nan angkuh itu pastilah tak akan dengan mudah mempercayainya.

------------------

Catatan kaki :
*katana : pedang khas jepang
*zaibatsu : lingkup konglomerat di jepang

Comments

Popular posts from this blog

Profil Pribadi

Hai.. saya Vyana Laksmita, lahir 26 Desember 1986. Seorang wanita lajang yang bekerja secara mandiri dan menghabiskan banyak waktu untuk membaca. Penyuka warna putih dan gemar dengan segala hal yang berhubungan dengan herbal, natural dan organic. Aktif menulis karya sastra dan mencintai bahasa Indonesia dengan segala keindahannya. Menyukai kerapihan, kebersihan dan keteraturan. Terbiasa bekerja secara mendetil dan tidak menyukai segala hal yang tergesa-gesa. Pekerjaan : business woman, pemilik sekaligus pendiri dari Created Beauty Shop, penulis aktif di blog pribadi. Blog yang saya miliki : http://bookofmiracle.blogspot.com https://created-beauty.blogspot.com Website : http://www.createdbeauty-skincare.com Online shop : https://www.tokopedia.com/createdbeauty https://shopee.co.id/shop/32725280 Facebook : https://www.facebook.com/vyana.laksmita Hal yang paling saya sukai : Membaca apapun yang menarik untuk dibaca, musik rock Jepang, kebudayaan Jepang, Skin care Korea

RW Persona de Ares Chapter 01 Rider of The Red Horse

Race Wish - Persona de Ares Chapter 01 Rider of the Red Horse Osaka, 16 Agustus 2012. Suatu siang di pertengahan musim panas langit biru yang biasanya cerah berhiaskan gugusan indah awan putih tiba-tiba berubah mendung dan tak lama guruh pun datang menandakan hujan akan segera turun. Rintik demi rintik berjatuhan semakin lama runtuh tak terelakkan, menerpa daratan yang terhampar luas. Panas teriknya kemarau seketika tergantikan oleh sejuk segarnya aroma hujan yang membelai bumi dalam lukisan alam nan menentramkan jiwa. Di tengah waktu yang seolah terhenti, derasnya guyuran hujan tak mampu menghentikan langkah kaki seorang bocah yang terus berlari tak tentu tujuan dikejar ketakutannya. Tak terkira berapa jauh langkah yang telah dilaluinya, waktu seakan terbang, jarak seakan hilang dan yang tersisa hanyalah lelah tertahan dalam setiap engah nafasnya. Tak ada waktu untuk berpikir atau merasa, yang ia tahu hanyalah harus terus berlari atau dirinya akan mati. Jauh di suatu tempat,