Skip to main content

RW Persona de Ares Chapter 01 Rider of The Red Horse

Race Wish - Persona de Ares
Chapter 01 Rider of the Red Horse

Osaka, 16 Agustus 2012.

Suatu siang di pertengahan musim panas langit biru yang biasanya cerah berhiaskan gugusan indah awan putih tiba-tiba berubah mendung dan tak lama guruh pun datang menandakan hujan akan segera turun. Rintik demi rintik berjatuhan semakin lama runtuh tak terelakkan, menerpa daratan yang terhampar luas. Panas teriknya kemarau seketika tergantikan oleh sejuk segarnya aroma hujan yang membelai bumi dalam lukisan alam nan menentramkan jiwa.

Di tengah waktu yang seolah terhenti, derasnya guyuran hujan tak mampu menghentikan langkah kaki seorang bocah yang terus berlari tak tentu tujuan dikejar ketakutannya. Tak terkira berapa jauh langkah yang telah dilaluinya, waktu seakan terbang, jarak seakan hilang dan yang tersisa hanyalah lelah tertahan dalam setiap engah nafasnya. Tak ada waktu untuk berpikir atau merasa, yang ia tahu hanyalah harus terus berlari atau dirinya akan mati.

Jauh di suatu tempat, pria-pria misterius gaduh dalam caci maki. Mobil-mobil hitam itu terparkir tak beraturan di salah satu bahu jalanan kota Osaka seakan enggan untuk melanjutkan perjalanan mereka. Nyanyian hujan meningkahi percakapan di dalam sana, membuat bising beradu sela dengan suara geram dan amarah.

"Sial! Kenapa dia bisa sampai kabur.. Memangnya apa yang kalian lakukan, bodoh!" Bentak pria China itu menyipitkan murka.

"Ma-maaf boss. Kami juga tak menyangka. Seharusnya borgol itu tidak dapat dilepaskannya." Cicit dua anak buahnya yang meringkuk ketakutan di jok belakang mobil van itu.

Sang pimpinan kelompok kecil mafia itu berdiri murka di tengah-tengah van. Sedikit lagi.. hanya tinggal sedikit lagi dirinya bisa menukar anak itu dengan sejumlah bayaran besar dan sekarang ia harus bersusah payah lagi mencari gantinya untuk diserahkan kepada kartel mereka.

Hamparan semesta berubah buram di pelupuk mata biru muda itu, sesosok tubuh kecil dengan basah kuyup berlari menembus tirai-tirai hujan. Melesat mengikuti naluri yang membawa kakinya terus berpacu tak kenal menyerah. Menjauh dan akan terus menjauhi siapapun hingga jarak dan waktu membawanya ke tepi kota yang sepi. Tanpa peduli aral dan bahaya yang mungkin mengintai, bocah itu menerobos kelengangan baris demi baris jalanan beraspal di bawah derasnya hujan yang seakan tiada berakhir.

Dunia seakan tuli disumbat kebisingan kala ribuan suara menyatu. Guruh dan gemuruh, gelegar guntur, dan kilatan halilintar, desau angin dan derasnya hujan seakan tak mau mengalah dengan dengungan mesin dan deru keras laju mobil yang memacu tinggi kecepatannya di tengah jalanan sepi lintas kota. Menempel ketat di aspal basah dan mencipratkan percikan besar pada setiap genangan yang di laluinya. Badan jalan bebas hambatan itu tak elaknya sebuah sungai hitam saat limpahan air hujan tak henti menggenanginya. Bagai serbuan seekor kuda merah dengan garang mobil sport itu melaju secepat kilat, menerobos tirai-tirai hujan yang merintanginya, memperlihatkan keganasan seni berkendara dalam batas dimensi yang menandingi kecepatan suara.

Sepasang sorot terang datang tiba-tiba bersama deru mobil yang menggemuruh semakin keras, menyergap seorang bocah lengah yang berlari melintasi kelokan aspal basah. Bidikan sinarnya begitu terang mengagetkan, membuat bocah laki-laki itu tersentak di tengah buramnya hujan. Tak bisa mengelak kala sepasang sorot tajam itu datang semakin mendekat dalam kecepatan yang menandingi suara. Silaunya seolah membutakan mata, memaku dirinya dalam kelumpuhan logika yang seketika membunuh kesadarannya, membuat si bocah hanya diam membeku di sana dalam detik-detik yang singkat tanpa daya untuk menghindarinya lagi. Betapa kita sering kali terlena mengabaikan kehidupan yang terkadang bagai sebuah pelarian panjang dan keterkejutan pada akhirnya memaksa kita untuk kembali, menghadapi kenyataan yang kita tinggalkan dan menyelesaikan masalah di sana. Yah karena kehidupan adalah sesuatu yang nyata.

Gatz tak pernah menyangka bila perjalanannya ke Osaka hari itu akan berujung pada insiden kurang menyenangkan. Mobil mewahnya melaju kencang berpacu bersama angin menyusuri jalanan sepi, meninggalkan pemandangan urban daerah Osaka yang segera tergantikan lukisan alam pegunungan wilayah Kansai di barat pulau Honshu. Dingin dan bisingnya ketukan hujan deras di luar sana seolah beradu riuh dengan dentum hentakan cadas musik rock di tengah uap dingin AC yang memenuhi kabin berkapasitas dua orang tersebut. Menantang nyali adrenalin pria muda itu untuk memijak pedal gas lebih dalam lagi memacu laju kecepatan mobilnya. Menikmati sensasi melayang dalam kecepatan tinggi di sepanjang perjalanan yang ditempuhnya seorang diri. Semua serasa senormal yang dipikirkan Gatz hingga sesuatu yang asing tiba-tiba melintas dalam perjalanannya, membuatnya terlonjak dan menginjak cepat pedal rem mobilnya.

Bunyi decit keras nan memekakkan telinga tiba-tiba memecah kebisingan semesta kala derasnya hujan dan gelegar guntur tak hentinya mengamuk di angkasa raya. Sebuah Ferrari California merah berhenti tiba-tiba tepat beberapa centimeter dari tubuh seorang bocah laki-laki kurus sebelum mobil sport itu nyaris menebas nyawanya di jalanan. Sorot lampunya yang garang penuh ancaman begitu terang menyilaukan mata. Tajam memaku sosok si bocah yang membeku, bergeming di tengah jalanan, basah kuyup dan pucat ketakutan. Perlu beberapa detik bagi anak itu untuk menyadari detak jantungnya yang nyaris keluar dari tenggorokan dan merasakan kehidupan masih bersarang di raganya, setelah sedetik sebelumnya maut mencengkeramnya dalam ketakutan.

Pintu mobil menjeblak terbuka dan seseorang keluar dari balik kemudinya. Sesosok pria muda berkaca mata hitam berdiri di sana, menatap garang pada apa yang merintanginya. Wajahnya beku dengan ekspresi yang tak menyisakan raut keterkejutan. Ia bagai kesatria dengan kuda merahnya, nampak berbahaya laksana sang dewa perang.

Sosoknya yang sempurna menyiratkan kekuatan di balik keindahan. Membuat si bocah terpana di tengah ketakutannya. Rambut coklatnya yang panjang berkilau bak tembaga di tengah hujan, terikat rapi menjuntai di balik punggung kokohnya. Tulang pipinya tegas menyatu sempurna dengan garis rahang yang halus membentuk seraut wajah tampan berkulit putih mulus. Tubuhnya yang tinggi semampai dan ramping atletis terbalut pakaian mewah kaum borjuis. Kemeja sutra hitam itu membungkus rapi dada bidangnya di balik sebuah coat panjang berwarna putih tulang yang membalut tubuh pria itu hingga ke bawah lututnya. Kakinya yang jenjang memijak kokoh daratan dalam pipa celana panjang hitamnya yang berbahan kulit. Seberkas Kesan elegan tersirat dalam penampilannya yang menyerupai anggota yakuza.

Perlahan pria itu melangkahkan kakinya dengan angkuh, berjalan ke depan mobil mewahnya. Mendekati bocah malang yang masih berdiri ketakutan di sana. Kecipak suara sepatu boatnya terdengar bagai ancaman yang semakin mendekat, membuat anak laki-laki itu semakin gemetar ketakutan. Perlahan namun pasti teror itu akan sampai di hadapannya.

Detik berganti menit memburu sang waktu yang seakan tak ingin tinggal lebih lama. pria itu hanya berdiri di sana menatap dirinya dalam diam dari balik kacamata hitamnya. Entah kawan atau lawan keduanya tak saling bereaksi, menyimpan tanya dalam diam dan menjawabnya dengan terkaan penuh waspada. Namun apa daya jika lelah nyatanya lebih berkuasa dari pada tekad, si bocah harus kalah oleh keletihannya sendiri yang memaksa mentalnya beristirahat dari segala ketegangan selama ini. Dirasakannya kesadaran itu mulai melayang dan tubuhnya terhuyung lemah hingga akhirnya ia harus jatuh pada nasib, roboh dan tak tahu lagi apa yang selanjutnya akan terjadi.

Detik berganti menit memburu sang waktu yang seakan tak ingin tinggal lebih lama. Pria itu hanya berdiri di sana menatap dirinya dalam diam dari balik kacamata hitamnya. Entah kawan atau lawan keduanya tak saling bereaksi, menyimpan tanya dalam diam dan menjawabnya dengan terkaan penuh waspada. Namun apa daya jika lelah nyatanya lebih berkuasa dari pada tekad, si bocah harus kalah oleh keletihannya sendiri yang memaksa mentalnya beristirahat dari segala ketegangan selama ini. Dirasakannya kesadaran itu mulai melayang dan tubuhnya terhuyung lemah hingga akhirnya ia harus jatuh pada nasib, roboh dan tak tahu lagi apa yang selanjutnya akan terjadi.

Comments

Popular posts from this blog

Profil Pribadi

Hai.. saya Vyana Laksmita, lahir 26 Desember 1986. Seorang wanita lajang yang bekerja secara mandiri dan menghabiskan banyak waktu untuk membaca. Penyuka warna putih dan gemar dengan segala hal yang berhubungan dengan herbal, natural dan organic. Aktif menulis karya sastra dan mencintai bahasa Indonesia dengan segala keindahannya. Menyukai kerapihan, kebersihan dan keteraturan. Terbiasa bekerja secara mendetil dan tidak menyukai segala hal yang tergesa-gesa. Pekerjaan : business woman, pemilik sekaligus pendiri dari Created Beauty Shop, penulis aktif di blog pribadi. Blog yang saya miliki : http://bookofmiracle.blogspot.com https://created-beauty.blogspot.com Website : http://www.createdbeauty-skincare.com Online shop : https://www.tokopedia.com/createdbeauty https://shopee.co.id/shop/32725280 Facebook : https://www.facebook.com/vyana.laksmita Hal yang paling saya sukai : Membaca apapun yang menarik untuk dibaca, musik rock Jepang, kebudayaan Jepang, Skin care Korea

RW Persona de Ares Chapter 02 Le Chateau de Cannuis

Race Wish - Persona de Ares  Chapter 02 Le Chateau de Cannuis Kyoto, sehari kemudian. Saat hari menjelang siang, seorang anak laki-laki terbangun dengan kesadarannya yang masih belum sempurna, terombang-ambing dalam pusaran ingatan yang berputar dan berdenyut-denyut memenuhi kepalanya, membuatnya hanya mengerjap menatap langit-langit ruangan sesaat sebelum akhirnya memejamkan kembali mata biru mudanya, menyerah pada pening yang serasa berat di belakang kepala. Perlahan rasa nyeri itu menggerayangi tubuhnya, menjalar cepat bagaikan sengatan listrik dan mulai menandai otot-ototnya yang pegal teraniaya di setiap persendian tulang lelahnya. Ia beringsut dari pembaringan dengan tubuh yang serasa remuk redam, mencoba untuk bangkit dan mengangkat kepala, meski letih masih terasa berat menggantung di punggungnya. Gerombolan yakuza, hujan deras, Ferrari merah, dan seorang pria misterius, ingatan demi ingatan datang kembali silih berganti, berputar cepat seperti potongan roll film yang d